RUU KUHAP Dianggap Bertentangan dengan Prinsip Restorative Justice

WhatsApp Image 2025-01-23 at 20.12.22
Ilustrasi (Malang Post.Com)

Kotanusantara.id, Jakarta – Pakar hukum pidana dan kriminolog Universitas Brawijaya (UB), Dr. Prija Jatmika, mengkritisi rancangan pasal dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan dibahas DPR RI pada 2025.

Ia menilai sejumlah pasal berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan.

Dr. Prija menyoroti beberapa pasal dalam RUU tersebut, termasuk Pasal 111 ayat 2, Pasal 12 ayat 11, Pasal 6, hingga Pasal 30B. Menurutnya, pasal-pasal ini berisiko menghambat penegakan hukum yang terpadu dan menjamin kepastian hukum.

Pasal 111 ayat 2 dalam RUU KUHAP memberikan kewenangan kepada jaksa untuk memeriksa sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan oleh polisi. Hal ini, menurut Dr. Prija, seharusnya tetap menjadi kewenangan mutlak kepolisian.

“Apabila kewenangan ini dialihkan ke jaksa, penanganan perkara hukum akan menjadi tidak terpadu,” ujarnya,pada Kamis 23 Januari 2025.

Pada Pasal 12 ayat 11, disebutkan bahwa masyarakat dapat melapor ke jaksa jika laporan kepada polisi tidak ditanggapi dalam 14 hari. Jaksa memiliki hak untuk menegur polisi, bahkan memeriksa dan menuntut kasus secara langsung.

“Ini menciptakan sistem yang tidak jelas. Jaksa yang menerima laporan masyarakat berpotensi menimbulkan kekacauan dalam sistem penyidikan dan membuka peluang penyalahgunaan wewenang,” tambahnya.

Dr. Prija juga menyoroti Pasal 30B yang memperluas kewenangan kejaksaan, termasuk hak untuk melakukan penyadapan. Menurutnya, hal ini membawa kekhawatiran baru terkait potensi penyalahgunaan kewenangan dalam penegakan hukum.

“Pasal ini mengembalikan jaksa sebagai penyidik, seperti era Hindia Belanda hingga Orde Baru. Padahal, tatanan distribusi kewenangan saat ini sudah baik,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengkritisi pelaksanaan restorative justice yang dalam RUU ini hanya dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Menurutnya, konsep ini bertentangan dengan asas adil, cepat, dan murah jika tidak dilaksanakan sejak tingkat penyidikan oleh polisi.

“Jika restorative justice dilakukan oleh jaksa, masyarakat harus menunggu pemberkasan di penyidik selesai. Ini tidak sesuai dengan tujuan keadilan restoratif,” tegasnya.

Dr. Prija mengusulkan penerapan sistem jaksa wilayah sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi penanganan hukum. Dalam sistem ini, jaksa berkantor di kantor polisi, seperti model kerja di KPK.

“Polisi tetap bertugas menyidik, sementara jaksa berkoordinasi untuk pengumpulan barang bukti. Sinergi ini dapat mengurangi pengembalian berkas perkara yang berulang,” ujarnya.

Ia menambahkan, tugas jaksa seharusnya difokuskan pada kasus-kasus khusus seperti tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat yang merupakan extraordinary crime.

“Jika jaksa diberi kewenangan untuk menyidik kasus ideologi, keamanan, dan sosial budaya, ini akan menimbulkan konflik kepentingan dengan polisi dan merusak kepastian hukum,” katanya.

RUU KUHAP ini, menurut Dr. Prija, dapat membuka peluang terjadinya abuse of power. Hal ini dikhawatirkan akan membingungkan masyarakat terkait pembagian kewenangan antara polisi dan jaksa.

“Di seluruh dunia, penyidik adalah polisi dan penuntut adalah jaksa. Jika aturan ini diterapkan, masyarakat akan bingung siapa yang berwenang menyidik,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan agar DPR RI melakukan revisi pada RUU ini sebelum disahkan. Jika tidak, konflik kewenangan antara polisi dan jaksa berpotensi memperburuk sistem peradilan pidana di Indonesia.

Sumber Berita: Malang Post.Com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait